Posted March 10, 2010 by prapedas
Categories: Uncategorized

Melestarikan Fungsi Situ di Depok

Salah satu atribut yang melekat pada kota Depok adalah keberadaan situ-situnya. Situ-situ itu merupakan anugerah bagi kota ini.

Menurut dokumen RTRW Kota Depok 2000-2010, terdapat 26 situ di kota ini. Sedangkan jika mengacu pada Perda No. 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah No 12 Tahun 2001 tentang RTRW Depok Tahun 2000-2010,  jumlah situ yang  ada di Kota Depok berjumlah 30 situ.

Lalu, bagaimana kondisi situ-situ tersebut?

Siapa pun, tentu saja, memiliki persepsinya masing-masing tentang kondisi situ-situ di Depok. Harus diakui, di beberapa situ terdapat perbaikan yang signifikan. Bahkan, terlepas dari kualitas airnya, beberapa situ sudah digunakan untuk wisata air.

Namun secara umum kondisi situ yang ada di Kota Depok masih memprihatinkan. Sempadannya terokupasi oleh pemukim ilegal, airnya sebagian besar tercemar,  terjadi pendangkalan dan pengkayaan mineral (eurtrofikasi) sehingga gulma air tumbuh subur. Di beberapa situ, airnya meluap ke permukiman ketika musim hujan.  Maka, tak heran jika ada pihak-pihak yang menyangsikan dan meragukan kesungguhan Pemerintah (di semua tingkatan) untuk melestarikan fungsi situ yang ada di Kota Depok.

Bahwa dalam berbagai pidato, dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah, dan dalam makalah-makalah pejabat, situ dianggap penting dan perlu dilestarikan, itu yang kerap kali dikemukakan. Namun, pelestarian fungsi situ sesungguhnya membutuhkan  aksi nyata yang didasarkan oleh sebuah konsep matang, yang tertuang dalam dokumen kebijakan yang resmi, dan kebijakannya telah melalui debat publik yang sungguh-sungguh.

Nah, disinilah justru persoalannya. Meski semua pihak sepakat bahwa eksistensi dan fungsi situ harus dilestarikan, tapi kita tidak pernah tahu secara persis apa sesunguhnya kebijakan Pemerintah Kota Depok (dan level pemerintahan lainnya) berkaitan dengan situ-situ yang ada. Ya… Adakah dokumen tertulis berkaitan dengan kebijakan pengelolaan situ di Kota Depok? Dokumen seperti itu, misalnya, memuat paparan kondisi obyektif dari situ-situ yang ada, permasalahan yang dihadapi, dan alternatif-alternatif kebijakan yang tersedia yang bisa direkomendasikan untuk pengelolaan situ-situ di Kota Depok. Lalu, dari sekian banyak alternatif itu, alternatif apa saja yang dipilih? Mengapa alternatif-alternatif itu yang dipilih? Bagaimana peran masing-masing stakeholder dalam implementasinya? dan sebagainya. Dan terutama, apakah dokumen kebijakan itu telah didebatpublikan secara sungguh-sungguh?

Tanpa dokumen kebijakan pengelolaan situ yang jelas, yang proses penyusunannya mengacu pada berbagai kajian yang sudah dilakukan dan peraturan perundangan yang ada, serta melalui debat publik yang dilakukan secara sungguh-sungguh, maka yang ada hanyalah pernyataan-pernyataan verbal dan wacana dari pejabat-pejabat kita yang sifatnya normatif dan cenderung reaktif, bukannya proaktif; cenderung responsif dan bukannya antisipatif. Kalau toh ada yang dilakukan, aktifitasnya cenderung mengarah pada upaya-upaya pembangunan struktur (teknik sipil). Padahal, dengan pendekatan ekohidraulik saat ini, pendekatan-pendekatan itu telah ditinggalkan di banyak negara.

Pengelolaan Kolaboratif

Setiap OPD (organisasi perangkat daerah) di Kota Depok yang tupoksinya terkait dengan situ, seperti Dinas Bina Marga Marga dan Sumberdaya Air, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata,  dan dinas lainnya yang terkait dengan pengelolaan situ, pasti memiliki perspektifnya masing-masing berkaitan dengan bagaimana situ-situ itu dikelola.

Masyarakat sekitar situ juga, setidaknya yang diwakili oleh Pokja-Pokja Situ, tentu saja memiliki mimpi tersendiri pula. Demikian juga dengan para akademisi di kampus, lembaga swadaya masyarakat dan kalangan dunia usaha.

Dengan mengidentifikasi pihak-pihak yang perlu terlibat (dilibatkan) dalam pengelolaan situ, dan mengidentifikasi perspektif dan mimpinya masing-masing, maka sesuatu yang tak dapat dihindari adalah keharusan pengelolaan situ yang, dalam referensi pengelolaan sumber daya alam, dikenal dengan konsep “pengelolaan kolaboratif”.

Pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan situ  adalah model pengelolaan yang menempatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk berperan secara setara dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan situ-situ di Kota Depok.

Berbasis warga catchment

Disamping itu, salah satu hal yang menonjol dalam pengelolaan situ-situ di Kota Depok saat ini adalah pengabaian peran warga catchtment (daerah tangkapan air hujan) dari situ yang bersangkutan. Seolah-olah pengelolaan situ hanya membutuhkan peran dari warga di sekitar situ saja.

Catchment situ adalah hamparan wilayah dimana air hujan yang jatuh di mana pun di hamparan wilayah itu akan menuju ke situ tersebut. Air hujan itu yang mengalir dalam bentuk aliran permukaan (run off) akan membawa sedimen yang tererosi (yang akan mendangkalkan situ), membawa zat hara (nitrogen dan fosfat) yang akan menyebabkan pengkayaan mineral (eutrofikasi), serta membawa  polutan (zat pencemar) yang akan mencemari situ. Eutrofikasi akan merangsang pertumbuhan tanaman air (seperti eceng gondok). Eceng gondok yang mati dan bahan organik yang masuk ke situ akan membutuhkan oksigen untuk proses penguraiannya, sehingga mengurangi oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan.

Berkenaan dengan itu, maka  setiap warga catchment dari situ itu perlu dilibatkan dalam ikhtiar untuk mengendalikan run off dan mengendalikan limbah cair yang masuk ke badan air situ.

Pelibatan warga catchment situ perlu dilakukan dalam bentuk aksi kolektif (collective acton), dimana aksi kolektif merupakan implementasi dari rencana / keputusan kolektif. Sedangkan keputusan kolektif merupakan produk dari rembug warga di tingkat lokal. Dengan demikian, maka pelaku utama dari pelestarian fungsi situ adalah warga catcchment situ itu sendiri. Sedangkan peran pihak lainnya adalah sebagai fasilitator untuk rembug warga, fasilitator untuk penyusunan rencana kolektif warga, dan sebagai fasilitator untuk membantu agar rencana-rencana warga catchment situ dapat terealisir.

Perspektif property right

Dari perspektif tersebut di atas, maka gagasan yang mungkin dapat dipertimbangkan dalam pengelolaan situ, adalah melalui “rekayasa” dari aspek property right (hak kepemilikan).

Pertanyaan dasar di balik gagasan ini adalah situ itu milik siapa? Jika mengacu pada aturan, situ jelas milik negara (state property) yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah. Kalau seseorang  memiliki sesuatu, dan sesuatu itu dianggap berharga, maka orang itu pasti akan menjaga miliknya itu.

Berkaitan dengan situ, faktanya, meski situ dianggap penting, negara kelihatannya tak memiliki kemampuan yang memadai untuk “menjaganya” secara serius. Sehingga, meski secara de jure situ-situ itu milik negara (state property), namun secara de facto, situ menjadi sumber daya yang open access (siapa saja bisa melakukan apa saja terhadap situ dan sempadannya). misalnya, diurug dan dibangun rumah, dibuangi sampah di sekitarnya, dibuangi limbah cair, dan sejenisnya.

Salah satu pemecahan masalah yang dapat diusulkan adalah dengan merekayasa dari aspek property right ini. Yakni, meski situ-situ itu secara de jure situ tetap merupakan state property, namun dapat saja dalam pengelolalannya dijadikan sebagai common property (milik bersama) pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Karena itu yang mungkin dapat dilakukan adalah:

Pertama, mengorganisir masyarakat / warga dari catchment situ, seperti yang telah ada di Kota Depok yaitu dengan Pokja-Pokja Situ. Tugas utama dari Pokja Situ adalah merumuskan aturan main (rules) yang disepakati bersama oleh warga catchment situ tentang bagaimana warga di sekitar situ memperlakukan situ yang ada. Dan yang lebih penting adalah menegakan aturan main itu, sehingga membentuk perilaku warga. Aturan main ini tentu harus sejalan dengan aturan-aturan formal yang ada.

Kedua, dibangun kesepakatan-kesepakatan aturan main antara Pemerintah (instansi yang berwenang mengelola situ) dengan Pokja-Pokja situ tentang pengelolaan masing-masing situ. Itu dari segi kelembagaan.

Dan ketiga, dari aspek teknis pengelolaan situ harus menggunakan pendekatan ekohidraulik dan berbasis warga catchment situ. Pemanfaatan untuk apa pun, sepanjang tidak bertentangan dengan ekohidarulik itu dimungkinkan.

Perjalanan memang masih panjang. Tapi itu dapat dimulai dengan penyusunan Naskah Kebijakan Pengelolaan Situ di Kota Depok secara partisipatif, yang dapat dijadikan rujukan bersama.

Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi ikhtiar kita untuk menyelamatkan Situ-Situ di Kota Depok.

depok, maret 2010, sahroel polontalo (085885317653)