Berita 2005

September 2005

Banyak Situ di Depok “Sakit Parah”

Suara Pembaruan – 27 September 2005

Sumber: http://digilib-ampl.net/

KOTA Depok sebenarnya sangat kaya akan danau alami (situ, rawa), yang oleh orang Depok disebut sebagai “setu”. Dari seluas 20.504,54 hektare lahan kota berpenduduk 1,3 juta jiwa ini, terdapat sebanyak 21 situ yang luasnya sekitar 91 hektare. Tak heran, bila Kota Depok dijadikan sebagai daerah tangkapan dan resapan hujan yang mempunyai peran sangat besar bagi Jakarta. Boleh dibilang, kerusakan lingkungan hidrologis di Depok bisa menyebabkan petaka bagi ibu kota republik ini. Kerusakan situ-situ alami di Depok itu bisa memperparah banjir di Jakarta, yang sudah parah itu.

DALAM pemantauan, sekitar 50 persen situ-situ di Depok itu tak berfungsi lagi, menjadi milik perorangan dan menjadi tempat pembuangan sampah, yang sangat rawan jadi sarang/sumber penyakit. Sayang, LSM yang menyuarakan kepedulian Lingkungan Hidup tidak bergaung di Kota Depok.

Bukan Ida Hidayatullah (45), yang tinggal di Perumahan Taman Duta, Cisalak, saja yang tidak tahu soal keberadaan danau alami yang berada dekat rumahnya. Tapi juga, bagi Yanti (37), warga jalan Gelatik, Perumnas Depok I. Ida yang sudah 17 tahun tinggal di situ tidak tahu bahwa dua ratus meter dari tempat tinggalnya ada dua setu (situ atau danau) yaitu Situ Pangarengan (Cisalak) dan Situ Gadog (Cisalak Pasar).

Sedangkan bagi Yanti, yang pergi pagi dan pulang senja hari karena bekerja di Jakarta itu bahkan tidak tahu apa nama danau yang ada di dekat rumahnya, padahal dia pun sudah lebih dari 20 tahun tinggal di situ. “Oh, namanya Situ Rawa Besar ya? Ha..ha.. sorry aku enggak tahu. Tapi setahu aku dulu situ itu memang tempat orang buang sampah. Kata adikku, situ itu sekarang sudah agak mendingan, tidak terlalu jorok lagi. Ada yang nanam ikan pakai keramba juga menjadi tempat penyeberangan ke Kampung Lio,” katanya.

Situ Rawa Besar merupakan sebuah danau atau situ alam yang berada di tengah Kota Depok, terletak tak jauh dari pusat pemerintahan kota antara sebuah kampung yang padat penduduknya, yaitu Kampung Lio dan permukiman Perumnas Depok I. Pada awalnya, situ alami yang memiliki sumber mata air yang mengalir deras di dalamnya ini mempunyai luas lebih kurang 35 hektare dan lebih mirip sebuah kubangan besar daripada sebuah situ atau danau, dan hampir seluruh permukaan ditumbuhi oleh tumbuhan air liar. Barulah sekitar tahun 1996, setelah ada program ABRI Masuk Desa (AMD), situ atau danau ini mulai ditata, di pinggiran danau dibuat tanggul-tanggul, tumbuhan liar mulai dibersihkan, dan kondisi airnya pun menjadi lebih baik.

Merosotnya mutu lingkungan 28 situ (kini tinggal 21) termasuk pengurukan situ terbesar Rawa Besar yang kini tinggal 13 hektare dari luas awal 35 hektare, menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat kita lebih menumpu pada kepentingan ekonomi dan keperluan sesaat. Rumus ekonomi dan pembangunan minus lingkungan di DKI telah diterapkan di kawasan penyangga ibu kota tersebut.

Dari data yang dihimpun, di Depok, Situ Rawa Besar, Pancoran Mas, tinggal 13 ha (dari 35 ha), Situ Citayam tinggal 12 ha (dari 27,25 ha). Di Tangerang ada Situ Kelapa Dua yang tinggal 23 ha (dari 39 ha), Situ Gintung, Ciputat, tinggal 21 ha (dari 31 ha), Situ Rompang tinggal 1,7 ha (dari 10 ha). Di Bogor Situ Cinangsi tinggal 6,5 ha (dari 12 ha) dan Situ Pasir Maung tinggal 4,5 ha (dari 8,5 ha), dan Situ Kemuning tinggal 12,65 ha (dari 21 ha). Terakhir, mencuat lagi kasus pengurukan Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangerang, dan Situ Binong, Depok.

Ida dan Yanti, mungkin termasuk ratusan ribu warga Depok lainnya, yang tak tahu kekayaan alami kota yang menjadi pemerintahan otonomi sejak 27 April 1999 itu. Selain karena sibuk dengan dirinya sendiri sebagai pekerja di Jakarta, juga memang Pemkot Depok sendiri tidak mensosialisasikan secara maksimal keberadaan situ-situ itu, baik sebagai warisan yang patut dibanggakan dan dipelihara, sebagai sarana rekreasi warga, atau pun sebagai daerah resapan air, dan penyangga banjir ibu kota.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Depok, Ir Walim Herwandi yang didampingi Drs Maman Hilmansyah, Kabid Pengendalian Dampak Lingkungan, dari 21 situ yang ada di Depok, hanya 12 yang masih berfungsi dengan baik. Yang lainnya sangat memprihatinkan dan perlu perhatian segera. Status situ-situ tersebut merupakan aset pemerintah pusat yang diserahkan ke provinsi lalu kemudian daerah diberikan wewenang untuk mengelolanya supaya situ-situ itu tidak hilang.

Dia menyebut satu per satu nama situ yang masih dianggap layak seperti empat buah situ yang ada kampus Universitas Indonesia, di Jatijajar, Cilodong, Rawa Kalong, Cilangkap, Pasir Putih, Bojong Sari, Citayam, dan Pendongkelan. Sedangkan yang tidak berfungsi itu antara lain Krukut, Pladen, Gadog, dan Tipar. Situ di Bojong Sari, Sawangan sudah bisa dipakai untuk memancing, sedangkan yang di Citayam malah sudah bisa dipakai untuk rekreasi dan yang di Jati Jajar ada restoran apungnya.

“Sebenarnya situ-situ itu masih bisa diselamatkan dengan cara pengerukan dan dibersihkan tapi memang biayanya sangat mahal. Sudah ada yang kelihatan hasilnya seperti Situ Kalong, dan Cimanggis, asal ada kemauan. Sedangkan Situ Rawa Besar dianggap tidak berhasil karena tetap saja warna situnya itu hijau dan berlumut,” katanya.

Sebelumnya, Kasie Pencegahan Kerusakan Lingkungan, Kania Parwanti menjelaskan, situ-situ di Depok ini juga sudah mendapat kajian dari Bank Dunia, yaitu situ yang berada di Bojong Sari, Rawa Besar, dan Citayam. Selanjutnya, nanti akan dipusatkan atau dikembangkan Bappeda, Dinas Pariwisata, dan Dinas PU/Tata Kota Bangunan.

Koneksitas antara banjir dan keberadaan situ, menurut Walim kepada Pembaruan, Senin (26/9), apabila situ daya tampungnya maksimal bisa berfungsi sebagai pengendali banjir.

Pencemaran

Untuk situ yang berada di dekat pabrik, dia mengatakan setiap enam bulan sekali diambil sampel airnya untuk diuji di laboratorium. Dicontohkan, hasil penelitian Situ Rawa Kalong, kualitas airnya mengandung BOD COD yang sangat tinggi, yang artinya air di danau alami itu tercemar, tidak mendukung kehidupan biota dan tidak mendukung kebutuhan oksigen sehingga ikan tidak dapat hidup. “Kita sudah memberikan surat teguran dan saran-saran ke pabrik. Bila tak diindahkan juga biarlah masyarakat yang beraksi yang disebut class action, lalu perusahaan atau pabrik tersebut diadili dan dihukum. Kehadiran Dinas KLH hanya sebagai saksi ahli.

“Beberapa rumah sakit di Depok seperti RS Hermina, RS Tugu Ibu, RS Sentra Medika kasus pencemarannya sudah diadili”, kata Walim.

Sementara itu, menurut Yayan Arianto, pejabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemkot Depok kepada Pembaruan, Senin (26/9), situ-situ di Depok yang saat ini jumlahnya ada 21 itu sebenarnya pengelolaannya bukan tanggung jawab Pemkot Depok saja, tapi merupakan proyek bersama dengan DKI dan Provinsi Jabar. Dia mengatakan, tidak mungkin mengelola semua situ-situ di Depok hanya melalui anggaran APBD Depok tahun 2005. “Sangat minim biaya untuk itu, saya tidak tahu persis angkanya tapi anggaran untuk situ tidak dibuat secara khusus. Untuk pengelolaan situ-situ, itu merupakan kewenangan Provinsi Jabar,” katanya.

Dikatakan, pihaknya sudah merencanakan untuk menggarap tiga situ di Depok tahun 2006 nanti sebagai proyek terpadu yang bisa dimanfaatkan bersama sebagai industri pariwisata, lahan pertanian, dan sekaligus tata kota bangunan. “Situ itu masing-masing Situ Gadog, Situ Tipar dan Situ Pendongkelan,” kata Yayan.

Hal penting karena situ berfungsi sebagai daerah resapan air, pemasok cadangan air tanah, pendingin suhu udara kota, pengendali banjir (nilai ekologis), wisata olahraga air, seperti perahu dayung, kano, memancing (nilai ekonomi), habitat satwa liar (nilai edukatif), dan tentu saja menambah keindahan kota (nilai estetis).

Menurut Walim, rusaknya situ-situ alami di Depok antara lain disebabkan oleh perambahan/penyerobotan yang dilakukan warga, pencemaran pabrik/industri atau limbah rumah tangga, sedimentasi endapan atau pendangkalan, serta adanya tanaman pengganggu seperti eceng gondok.

Sayang, di Depok suara lantang LSM yang peduli tentang lingkungan hidup tak terdengar. Sangat berbeda dengan pilkada, puluhan LSM bisa bertumbuh bagai cendawan di musim hujan. Padahal bagi Depok, berteriak lantang untuk lingkungan hidup jauh lebih penting daripada sekadar membela seseorang untuk duduk sebagai pejabat. Pembaruan/Rina Ginting

Situ Cisalak, Nasibmu Kini…

Suara Pembaruan – 27 September 2005

Sumber: http://digilib-ampl.net/

Sudah 17 tahun Ida Hidayatullah (45) tinggal di Perumahan Taman Duta, Cisalak. Sedikit pun dia tidak tahu bahwa dua ratus meter dari tempat tinggalnya ada dua situ (danau alami) yaitu Situ Pangarengan (Cisalak) dan Situ Gadog (Cisalak Pasar). Ida dan keluarganya baru tahu di samping perumahan tempat tinggalnya itu ada situ setelah ribut-ribut berita tentang kematian Devi Permatasari (6), warga RT 05/RW 08 Kelurahan Cisalak, Sukmajaya, akibat DBD (demam berdarah dengue), awal Agustus lalu.

“Selama ini, setahu saya tempat tinggal kami ini dikenal sebagai daerah banjir. Bahkan air kali yang membelah perumahan ini bisa meluap sampai ke rumah walau tidak ada hujan di Depok. Saya sendiri tahu dari cerita orang saja bahwa dulunya kawasan Taman Duta ini memang sebuah danau besar, daerah irigasi, yang kemudian mendapat izin Kabupaten Bogor dan dibangunlah perumahan. Sampai sekarang masalah banjir ini belum bisa diatasi oleh Pemkot Depok karena masalahnya sudah sangat kompleks,” kata Ida yang terpaksa harus betah tinggal di situ karena sudah cocok dengan para tetangganya.

Dalam berbagai pemberitaan di surat kabar dan televisi, Devi dikabarkan meninggal akibat lokasi rumahnya dekat dengan Situ Pangarengan Cisalak yang kondisinya sangat jorok, penuh sampah, dan sangat memprihatinkan. Tak hanya Devi yang menjadi korban DBD, tetapi juga ibunya Oom (39), dua kakaknya masing-masing Asep (18) dan Abdul Rasyid (14). Namun, hanya Devi yang tengah duduk di kelas satu SD III Pasar Cisalak itu yang menghadap Ilahi.

Situ yang disebut-sebut sebagai sumber nyamuk aides aegepty, nyamuk penyebab demam berdarah, sebenarnya kurang tepat bila dikatakan sebagai sumber nyamuk pembunuh. Karena nyamuk aides aegepty lebih suka tinggal di tempat yang bersih. Sedangkan situ yang menurut warga Cisalak disebut sebagai Situ Cisalak itu kini telah menjelma menjadi tempat pembuangan sampah.

Ketika Pembaruan berada di lokasi Senin (26/9), beberapa keluarga Oom, termasuk adik dan kakaknya Mulyani (36) dan Nemi (42) mengatakan, Situ Cisalak itu tadinya disebut Situ Bunder karena dulunya bentuknya bundar dan bersih, tempat orang menanam bibit ikan. Keluarga Oom sejak lahir sudah tinggal di daerah situ. “Kami sekeluarga tinggal di daerah sini sebelum ada perumahan. Dari zaman kakek kami. Dulu kakek kami punya bagian lahan di danau ini tapi sudah dijual kepada yang lain. Sekarang kami tidak punya andil di situ ini. Warga di sini sering mengeluh karena banyak sekali lalat pada siang hari dan nyamuk pada malam hari,” kata Oom, ibu almarhumah Devi.

“Sekarang kondisinya lihat saja sendiri, jadi tempat pembuangan sampah. Situ ini ada pemiliknya, itu tuh, sebagian milik pabrik tahu yang di depan sana,” katanya menunjuk ke seberang. “Sedangkan situ yang sudah jadi padat karena sampah milik Bu Haji yang tinggalnya di Tebet (Jakarta Selatan). Dia menerima sampah buangan dari perumahan,” Oom dan Nemi menjelaskan.

Lokasi Situ Cisalak yang di dekat rumah Devi itu berada persis di sebelah jalan Kenanga VIII, Taman Duta. Kalau tidak diberi petunjuk, Pembaruan pun tak akan tahu, bahkan mungkin tak seorang pun bakal tahu bahwa di balik tembok-tembok rumah, di luar perumahan Taman Duta, yang termasuk wilayah Kelurahan Cisalak itu, terdapat sebuah situ alami yang seharusnya diperlakukan dan dirawat sebagai warisan alami. Situ Cisalak itu telah menjadi tempat pembuangan sampah, jorok, tumbuhan liar, tidak ada turapan dan dikelilingi tembok-tembok rumah. Situ masih bisa dilihat jelas melalui celah-celah halaman warga setempat.

“Sudah lama sekali situ ini tidak pernah dibersihkan. Setahu saya, tidak pernah ada pejabat yang melihatnya. Sebagai warga sini, jelas kami minta perhatian pemerintah untuk membersihkan danau ini. Kami tidak mau tertular penyakit dari sini,” kata Nemi, seolah mewakili warga RW 08 Cisalak. Dia menambahkan, warganya juga tak ingin ada anak yang kecemplung karena tersedot rawa-rawa. Sebagian situ Cisalak itu telah dipenuhi pohon belukar yang di bawahnya berupa rawa-rawa.

Tak heranlah bila Ida Hidayatullah maupun ratusan penduduk di sekitar Taman Duta tidak pernah tahu bahwa beberapa ratus meter dari lokasi tinggal mereka sebenarnya ada warisan alami yang terlantar, tidak terpelihara, dan bisa menjadi sarang penyakit. Ida pun jadi maklum, mana mungkin Taman Duta bisa bebas banjir kalau semua saluran air mampet, situ sudah mengeras karena sampah dan limbah. Fungsi sebuah danau sebagai daerah resapan air jelas tidak berjalan.

Apalagi, dia juga mendengar kabar bahwa di bagian hulu Taman Duta sudah disekat-sekat sebagai hak milik pribadi sehingga jalannya air tidak lancar. Ditambah lagi, bagian hilir perumahan yang makin menyempit, membuat air hujan dan air kiriman tidak lagi tertampung di Kali Laya yang semakin mengecil. Danau yang mampet dan saluran air yang tidak beres, bila tak segera dibenahi membuat beberapa tahun lagi Perumahan Taman Duta kembali akan menjadi danau. Kali ini bukan danau asli tapi tenggelam akibat kelalaian manusia dan pejabat Pemkot yang lelet menanganinya. (R-8)

Oktober 2005

Penggusuran Tak Akan Selesaikan Persoalan Kawasan Kumuh

Sumber: http://www.kapanlagi.com/ 29 Oktober 2005

Kapanlagi.com – Penggusuran tidak akan menyelesaikan persoalan kawasan permukiman kumuh (squatters) di perkotaan, justru akan menimbulkan masalah baru karena bertambahnya masyarakat miskin akibat aset yang dimilikinya ikut-ikutan musnah akibat penggusuran tersebut.

“Persoalan dari timbulnya permukiman kumuh akibat dari tingginya tingkat urbanisasi ditambah lagi kebijakan pembangunan yang tidak tepat,” kata Staf Ahli Menteri Perumahan Rakyat Bidang Sosial dan Peran Serta Masyarakat (SPSM) Endang Widayati Martono di Jakarta, Jumat.

Lokasi squatter umumnya merupakan lahan yang bukan peruntukan atau terlarang bagi permukiman seperti di bantaran sungai, danau, pantai, ruang terbuka hijau, kawasan konservasi.

Mereka juga mendiami garis sempadan seperti rel KA, jalan tol, kolong jembatan atau jalan layang, dekat dengan fasilitas publik diantaranya terminal, pelabuhan, bandara, TPA, stasiun serta menempati lahan milik orang atau badan lain yang kosong dan tidak terjaga dengan baik.

Pemukim kawasan kumuh umumnya memiliki pekerjaan usaha rumahan seperti warung, lapak, industri rumahan, kerajinan, namun ada juga yang menjadi buruh, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, pengemis, pengamen, anak jalanan, PSK ataupun tukang becak, pedagang keliling/asongan, nelayan kecil.

Untuk menangani permasalahan penghuni squatters Kementrian Perumahan Rakyat melaksanakan Program Pemberdayaan Masyarakat Squatters (PPMS) dengan mengambil lima kota sebagai proyek percontohan yakni di kota Bekasi, Tangerang, Depok, Serang,dan Cirebon.

Kota Cirebon yakni squatter tanah timbul di pesisir pantai terletak di pantai selatan sekitar pelabuhan Cirebon di kecamatan Lemah Wungkuk dengan sasaran 1500 KK di empat desa dengan mata pencaharian sebagaian besar buruh pelabuhan, pemulung, tukang becak dan pedagang kecil.

Kota Bekasi yakni di bantaran sungai dan sekitar TPA Bantar Gebang dengan sasaran 900 KK umumnya mereka merupakan pekerja informal dan pemulung. Sedangkan di Kota Depok untuk squatter yang berlokasi di sempadan situ rawa besar dan bantaran kali cabang timur serta kali cabang tengah dengan sasaran 300 KK.

Untuk kota Tangerang diambil dari bantaran sungai Cisadane di Tanah Bengkok dan lahan penyangga bendung dengan sasaran 600 KK sementara di Kabupaten Serang di bantaran Sungai Cibanten, bantaran rel KA di Tanah Bengkok, dijalur Pipa pesat KTI dengan sasaran 900 KK namun akhirnya diikuti 1174 KK.

Dari hasil pilot proyek PPMS di lima kota/kabupaten tersebut menunjukkan secara umum pemerintah daerah belum memiliki persepsi yang tepat mengenai squatter dan kebijakan yang strategis serta proaktif dalam menanganinya sehingga didapatkan solusi yang menyelesaikan akar permasalahan.

Endang Widayati Martono memberikan konsep solusi untuk penanganan masyarakat squatter untuk di daerah yang bukan terlarang dapat dilakukan secara on site yakni dengan alih kepemilikan, revisi RUTR, konsolidasi lahan perkotaan.

Upaya memukimkan warga squatter, misalnya dengan menyediakan rumah sewa yang terjangkau merupakan sarana jitu untuk membangun harkat dan martabat warga squatter.

Pemda harus mau mengembangkan suatu kebijakan politis yang berpihak kepada penanggulangan masyarakat miskin yang hidup di perumahan kumuh terutama menyangkut akomodasi masalah dasar seperti hak atas lahan yang dihuni, akses ke arah perolehan rumah layak dan terjangkau.

Pemerintah pusat dapat dan patut memberikan fasilitas agar squatter bisa masuk menjadi bagian dari penanganan pemukiman kumuh perkotaan dan penanggulangan kemiskinan.

Kondisi perumuhan kumuh umumnya lebih dari 60 persen lingkugannya tidak layak huni, tidak terlayani jaringan prasarana primer seperti air bersih, saluran pembuangan dan sanitasi serta minim jalan setapak. (*/rit)

November 2005

Dibutuhkan, Menteri Penanganan Situ

Suara Pembaruan – 19 November 2005

Sumber: http://digilib-ampl.net/

KAWASAN MARGONDA – Di sepanjang Jalan Margonda kurang memiliki saluran air yang baik sehingga pada musim hujan berpotensi menimbulkan genangan air di badan jalan.

BANJIR, selamat datang lagi! Itulah kata-kata yang tepat untuk sebuah penantian rutin setiap tahun.

Bila November tiba, apalagi Desember makin mendekat, pembicaraan paling aktual warga Jabodetabek selain Natal adalah banjir. Warga dan pejabat kota sudah langganan jadi bulan-bulanan banjir.

Atau, sebaliknya, justru banjir itu merupakan proyek atau komoditas. Setiap tahun, masing-masing wilayah berlomba-lomba mengajukan anggaran rutin “penanggulangan banjir”, yang sifatnya sekadar temporary. Ibarat penyakit, yang digarap adalah obatnya, sementara akar penyakitnya justru dibiarkan subur.

Seandainya anggaran dari setiap pemerintahan kota itu disatukan, ditambah biaya-biaya swadaya atau pribadi yang dikeluarkan masyarakat, lalu ditambah anggaran dari pemerintah pusat, sudah berapa jumlah uang yang akhirnya terendam banjir setiap tahun?

Benar, hujan adalah siklus alami dan kekayaan yang sekaligus juga kuasa dan anugerah Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Air hujan tidak akan terkendali, bahkan bisa menjadi bencana apabila manusia tidak mampu mengendalikannya dengan baik. Apalagi mengeksploitasi habis-habisan terhadap alam lingkungan hidup terus-menerus berlangsung.

Entah berapa kali pengamat lingkungan hidup atau ahli pengairan berteriak lantang bahwa penanggulangan banjir tak mungkin sifatnya parsial per wilayah/kota. Diperlukan pejabat setingkat menteri untuk menanggulangi secara komprehensif banjir di wilayah Jabodetabek, yang sekaligus pula melibatkan wilayah hulu Bogor dan Cianjur.

Hingga hari ini, kesungguhan pemerintah untuk itu masih “omdo” alias omong doang! Banjir tetap saja banjir. Malah semakin hari semakin parah keadaan dan jumlah korbannya (jiwa maupun materi).

Pembina Lingkungan Kampus Universitas Indonesia (UI), yang juga Koordinator Binaan Hutan Kota, Dr Ir Tarsoen Waryono MSc, baru-baru ini kepada Pembaruan mengatakan, Depok dikenal sebagai kota penyangga Ibukota yang secara alami memiliki kekayaan puluhan danau atau situ. Namun, karena tak dipelihara, hanya sebagian saja situ-situ itu berfungsi.

“Dengan tata ruang yang tidak teratur, situ-situ di Depok itu ke depan diambang kehancuran. Hancur karena airnya berpotensi tercemar, terutama dari limbah masyarakat, termasuk rumah tangga dan industri,” katanya.

Menurut Tarsoen, salah satu fungsi situ adalah sebagai pengendali banjir, yang bukan hanya untuk kepentingan warga Depok, tapi juga untuk Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Seharusnya, penanggung jawab, pengatur, dan yang berwenang akan situ-situ itu adalah pemerintah pusat. Skala pusat yang dimanfaatkan, bukan saja untuk Depok, tapi komprehensif se-Jabodetabek atau yang dikenal sebagai konsep Pemerintahan Megapolitan.

“Namun bagi pemerintah pusat, masalah situ-situ merupakan prioritas ke-100. Seharusnya, bagi daerah yang memiliki situ, termasuk Depok, pemeliharaan situ itu merupakan skala prioritas nomor satu,” kata dosen Geografi, Fakultas MIPA UI itu.

Pemerintah, katanya, harus membuat pejabat setingkat dengan menteri yang khusus menangani keberadaan situ-situ sebagai daerah penyangga air dan pengendali banjir. “Sekitar 90 persen daerah Jabodetabek tidak memiliki Ipal (Instalasi Pengelola Limbah, Red). Dasar aturannya sudah jelas, Keppres 32/90 tentang Kawasan Lindung yang mengatur kawasan sepadan atau penyangga situ-situ dan penggunaan mata air situ-situ sebagai kawasan budi daya,” katanya.

Kurang Memanfaatkan

Sementara itu, Rektor (UI), Prof dr Usman Chatib Warsa menilai, Pemerintah Kota Depok selama ini kurang memanfaatkan UI dalam pengelolaan berbagai persoalan fungsi tata hijau, tata air, dan tata ruang kotanya, termasuk pemeliharaan situ-situ (danau) yang jumlahnya mencapai 25 buah.

Bahkan menurutnya, sebagai perguruan tinggi yang membuat Depok jadi kawasan bergengsi, banyak yang telah ditawarkan UI, namun tidak direspon dengan baik. Dia berharap, wali kota yang baru dan definitif nanti, lebih proaktif memanfaatkan UI sebagai sumber berbagai ilmu dan pengkajian tata kotanya.

“Kampus UI sebagai penyangga Kota Depok, luasnya 300 hektare. Letaknya sangat strategis, 90 meter di atas permukaan laut. Di sini, ada akar air yang terbaik untuk Jakarta, SDM-nya juga baik,” katanya.

Karena itu, kampus UI juga diminta untuk menjadi daerah reservoar air, sebagai kawasan tampungan air supaya Jakarta tidak kekeringan. “Itu terus kami pelihara sebagai perwujudan falsafah tri dharma perguruan tinggi,” kata Rektor UI, pada acara rehabilitasi Danau Mahoni yang berada di lingkungan UI Depok, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Depok Yayan Arianto, Kamis (17/11) kepada Pembaruan di kantornya mengatakan, Kota Depok akan bebas banjir kira-kira enam tahun lagi, atau sekitar tahun 2011 apabila ada anggaran yang cukup untuk itu. Masalah banjir, jalan serta lingkungan, kata mantan Kepala Bagian Tata Usaha PU itu, sangat terkait erat dengan pembagian anggaran APBD Depok.

Minimnya angagaran dikeluhkan oleh Yayan. Untuk seluruh biaya PU per tahun, baik untuk kepegawaian, penanggulangan banjir, perbaikan jalan maupun lingkungan, idealnya butuhkan anggaran Rp 512 miliar. Saat ini, pihaknya tengah mengajukan rencana anggaran PU untuk tahun 2006 sebesar Rp 77 miliar, atau naik sekitar 10 persen dari anggaran tahun 2005 yang besarnya Rp 70 miliar.

“Dari anggaran itu, khusus untuk penanggulangan banjir Rp 20 miliar, naik 10 persen dari tahun 2005 yang besarnya Rp 18 miliar,” katanya.

“Dengan anggaran itu, kami melaksanakan tugas sebagai penyedia atau penyeimbang sarana dan prasarana utama, seperti saluran air (gorong-gorong/drainase, crossing), perbaikan/pembuatan jalan beton/aspal, turap dan pemeliharaan situ. Ini semua seharusnya mengacu pada master plan PU yang masih dalam perencanaan,” tandasnya.

Proses revisi RTRW Kota Depok nanti, Pemkot Depok akan melibatkan ahli dari UI, sebagai langkah awal realisasi kerja sama Pemkot dengan kampus tersebut, dalam merumuskan Master Plan Kota Depok 2020.

Bulan Juni lalu, Pemkot Depok dan UI menandatangani nota kesepahaman menyangkut rencana penyusunan master plan tersebut.

Biar masih lama, tidak mengapa. Harapan warga, semoga warga dan pejabat tidak menjadi bulan-bulanan banjir. Juga, rakyat pasti berharap semoga banjir tidak menjadi komoditas. (R-8)PEMBARUAN/YC KURNIANTORO

Leave a comment